Semalaman, hampir semua awak redaksi harian bergerak! kurang
tidur. Saya sendiri lupa apakah sempat tidur atau tidak. Yang jelas,
saya selaku Pemimpin Redaksi bersama Achmad Nurchoeri Soekarsono selaku
Pemimpin Umum terus-menerus memantau situasi. Telepon genggam saya dan
Achmad, telepon di sekertariat kami, hingga pager (ya, waktu itu masih zamannya pager)
beberapa orang di antara kami terus-menerus menerima berita. Pager
mengalami gangguan pelayanan serius karena para operator tak bisa masuk
kantor dan listrik mati di banyak tempat. Telepon genggam saya lumayan
karena operatornya memakai satelit milik negara asing, sehingga tetap
berfungsi. Namun komunikasi yang paling sering berdering ya telepon PSTN
di sekertariat kami. Telepon datang tidak hanya dari para reporter dan
fotografer di lapangan, tapi juga dari para orangtua yang menanyakan
kabar anak-anaknya. Telepon umum dan wartel di area kampus juga penuh
dengan antrean mahasiswa yang melaporkan kondisinya kepada orangtua
masing-masing. Malam tanggal 13 Mei 1998, kampus baik di Salemba maupun
di Depok terdapat sejumlah mahasiswa aktivis yang terjebak tak bisa
pulang. Malam itu, Rektor Prof. Dr. dr. Asman Budisantoso Ranakusumah, Sp.PD
dan para pimpinan universitas berkeliling kampus untuk menenangkan
mahasiswa yang masih berada di kantong-kantong gerakan. Kami juga tahu
bahwa mereka semua ikut menginap di kampus.
Kembali ke masalah alat komunikasi, selain memiliki telepon genggam dan pager pribadi, saya dibantu dengan dua unit HT (Handy-Talky)
yang keduanya pinjaman. Satu unit dipinjamkan oleh Ibu Dr. Multamia RMT
Lauder (kalau tidak salah saat itu Pembantu Dekan I Fakultas Sastra
UI), sementara satu unit lagi saya tidak tahu milik siapa, karena datang
melalui seorang teman (yang saya juga lupa siapa). HT dari Ibu Mia
disetel di frekuensi polisi, sementara HT satu lagi di frekuensi Kodam
Jaya. Kalau tidak salah ingat, teman yang meminjamkan HT kedua ini
mengatakan HT tersebut memang milik seorang anggota Kodam Jaya. Dari HT
inilah saya dan tim bisa memantau situasi di lapangan.
Kami jadi tahu bahwa hari itu Jakarta
terbakar lebih hebat dari hari sebelumnya. Kawasan Glodok yang dikenal
sebagai kawasan pecinan luluh-lantak. Demikian juga wilayah lain di
sekitarnya seperti Taman Sari, Mangga Besar, hingga yang jauh seperti
Kemayoran, Slipi, Klender, Cileduk bahkan ke arah Cengkareng. Mirisnya,
dari HT saya mendengar sendiri perintah agar aparat kepolisian mundur ke
markas masing-masing. Sayang saya tidak merekam, namun saya ingat
frekuensi Polda Metro Jaya sangat ramai. Polisi terdengar panik, apalagi
setelah Pos Polisi Matraman berhasil dibakar massa. Aparat
diperintahkan menjaga fasilitas masing-masing, termasuk markas dan
perumahan. Sehingga, obyek vital publik kosong. Dari rekan di sekitar
Cijantung, saya tahu di muka kompleks Kopassus –yang juga dihuni
berbagai kesatuan lain- terlihat tank-tank dan panser-panser dikeluarkan
untuk berjaga. Tentu saja termasuk para prajurit yang dilengkapi
senjata otomatis siap tempur.
Berita televisi memang cukup membantu.
Namun ingat, saat itu stasiun TV swasta baru ada RCTI, SCTV, TPI, ANTEVE
dan Indosiar. TVRI dan TPI cenderung pro pada Soeharto, sehingga
beritanya agak kurang aktual. Hanya TV swasta lain yang cukup lugas
liputannya. Namun tak bisa dipungkiri, media andalan masyarakat ibukota
adalah radio, terutama radio berita. Antara lain yang cukup bagus
menyajikan liputan lapangan adalah Elshinta dan Trijaya. Dari berita
inilah kemudian warga lokal berjaga-jaga mengadakan siskamling agar
penjarah yang merupakan pendatang tidak merusak wilayahnya.
Kamis pagi, saya dan tim bertahan di
Depok. Mencoba menganalisa situasi seraya mempersiapkan penerbitan.
Achmad –mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI yang saat itu sudah
bekerja sebagai stringer majalah Asiaweek- mendapatkan update dari rekan-rekannya wartawan asing. Saya juga sudah bekerja di Tabloid Swadesi, sehingga
berupaya juga mendapatkan berita dari rekan-rekan wartawan lain. Sutono
Rendra Lysthano selaku Pemimpin Redaksi majalah Suara Mahasiswa UI dan editor bergerak! sibuk mempersiapkan penerbitan karena secara teknis ia menguasai lay-out. Tentu saja ia tidak sendirian melainkan dibantu tim antara lain M.Imron (kini bekerja di Tribun Kaltim). Nura’aini Vera Darmastuti selaku Redaktur Pelaksana majalah Suara Mahasiswa UI dan editor bergerak! menjadi ‘seksi sibuk’, mengurus aneka hal termasuk keperluan teman-teman yang menginap.
Namun, komunikasi dan bantuan terbaik
datang dari Wien Muldian. Ia adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan
UI (kini Koordinator Perpustakaan Depdiknas) yang sempat menjadi
Pemimpin Redaksi kedua majalah Suara Mahasiswa UI (saya kemudian menjadi PU-Pemred kelima). Melalui kontaknya di Salemba, kami bisa memantau situasi di sana. Ia juga berjasa mencarikan donasi bagi harian bergerak! termasuk dari Suara Ibu Peduli. Namun yang paling penting, ia berhasil mencarikan kami sekertariat di Salemba melalui kemampuan lobby-nya.
Setelah seharian di Depok dalam ketegangan, dan seingat saya harian bergerak! edisi
hari itu dicetak terbatas karena sulit diedarkan kepada pembaca,
sekitar Maghrib kami memutuskan bergerak ke Salemba. Atas bantuan Wien,
kami diterima dengan baik untuk menumpang di dua tempat, yaitu di
sekertariat Media Aesculapius –surat kabar mahasiswa Fakultas
Kedokteran UI- dan beberapa hari kemudian pindah ke sekertariat Badan
Perwakilan Mahasiswa (BPM) Program Ekstension Fakultas Ekonomi UI.
Kemudian memang kami memutuskan memindahkan sekertariat ke Salemba
dengan pertimbangan keamanan. Juga atas bantuan Wien, beberapa hari
kemudian kami mendapatkan izin Rektor menggunakan Balai Mahasiswa UI
yang kosong. Sebelum Kampus Baru UI Depok dibangun, tempat itu adalah
sekertariat berbagai organisasi kemahasiswaan terutama Dewan Mahasiswa
UI era sebelum NKK/BKK.
Setelah merancang rute teraman dengan
mempertimbangkan situasi yang terpantau melalui berbagai alat komunikasi
dan berita media, kami berangkat ke Kampus UI Salemba. Demi keamanan,
mobil saya yang berwarna hijau militer dilengkapi “perlindungan”
berlapis. Selain menggunakan lampu sirine, di bagian kap mobil dipasang
bendera palang merah, dan di bagian belakang dikibarkan bendera
almamater UI. Saya lupa siapa saja yang ikut, namun dua orang yang saya
ingat adalah Wien dan Renata. Perjalanan sangat menegangkan. Di Lenteng
Agung menjelang kampus IISIP, mobil saya sempat dilempar kayu oleh
massa lokal yang berjaga. Untung hanya kena ban saja. Setelah itu,
jalanan relatif aman karena kosong melompong hingga Lenteng Agung. Di
depan gedung Antam, gardu tol yang rusak ditinggalkan penjaganya hingga
kami bisa leluasa masuk jalan tol tanpa mengambil tiket dan membayar.
Rute kami adalah masuk ke jalan tol lingkar luar Pondok Pinang-Kampung
Rambutan untuk selanjutnya masuk ke jalan tol Jagorawi lantas jalan tol
dalam kota Cawang-Tanjung Priok dan turun di Pramuka. Saat kami sampai
di atas jembatan layang by-pass, barulah kengerian itu
terlihat. Asap membumbung tinggi di mana-mana. Saya harus menyetir
dengan berzig-zag di jalan karena banyak mobil dibakar massa di jalan.
Untungnya, massa sendiri nyaris tak terlihat di jalan tol Cawang-Tanjung
Priok itu. Mereka tampaknya terkonsentrasi untuk menjarah di kawasan
Kota. Saat kami masuk jalan Pramuka, gedung-gedung relatif aman, hanya
di jalanan ada sejumlah kendaraan dirusak atau dibakar. Di jalan layang
Pramuka-Salemba, kami juga harus melewati sekitar lima mobil yang hangus
terbakar di atasnya. Di jalan Matraman raya di bawah kami, sejumlah
bangunan luluh-lantak dirusak massa. Termasuk Pos Polisi Matraman, Toko
Buku Gramedia, Fuji Film dan sebuah showroom.
Setelah berjuang melewati jalanan yang
mengerikan bak perang di Bosnia atau Lebanon, kami akhirnya sampai di
kampus UI Salemba. Kami langsung menemui Pemred Media Aesculapius
bernama Wiwiek dan beristirahat sebentar di sana seraya bertukar
informasi. Dari Wiwiek inilah saya mendapatkan bendera palang merah
untuk dipasang di mobil saya. Di kampus ini, masih banyak aktivis
terutama dari Posko KBUI yang berafiliasi ke Forum Kota. Kami pun ngobrol-ngobrol dengan
mereka membahas situasi dan strategi. Kontak juga terus dilakukan
dengan rekan-rekan aktivis lain termasuk dengan Ketua SMUI Rama Pratama.
Saya dan beberapa rekan juga sempat
menengok ke kamar jenazah RSCM, dimana para petugas paramedis dan dokter
sibuk melayani ambulans yang datang silih-berganti membawa mayat-mayat
yang hangus. Saya masih ingat, ada satu mayat hangus seorang pemuda yang
tinggal setengah badan bagian atasnya saja. Ironisnya, ia mengenakan
seragam suatu organisasi massa onderbouw Golkar yang justru sering dimintai bantuan menjaga keamanan. Dan di tangannya yang menghitam itu tergenggam satu tube pembersih wajah merek Biore. Kasihan sekali. Mati terbakar saat hendak menjarah Biore.
Menurut laporan TGPF, korban jiwa
mencapai di ibukota mencapai 1.190 orang tewas dibakar atau terbakar, 27
orang tewas karean senjata atau sebab lain, 91 luka-luka. Sementara
data kerugian material berupa bangunan dan kendaraan dari Pemda DKI
Jakarta senilai Rp 2,5 trilyun. Ini meliputi kerusakan di 13 pasar,
2.476 ruko, 40 mall/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kantor kecamatan,
11 kantor polisi, 389 kantor swasta, 65 bank, 24 restoran, 12 hotel, 9
SPBU, 8 bus kota, 1.119 mobil, 821 motor, 1.026 rumah dan gereja, 486
rambu lalu lintas, 11 taman dan 18 pagar. Malam itu kami lalui dengan
menegangkan dan miris menyaksikan kenyataan bahwa ibukota tengah
terbakar…
{Duka kita semua untuk korban kerusuhan
massal 13-14 Mei 1998. Semoga segera terungkap apa, siapa dan
bagaimananya. Termasuk tentu saja aktor intelektual tertinggi yang harus
bertanggung-jawab. Dan tentu saja teriring harap, semoga tak akan
pernah terjadi lagi. Saya sendiri cuma “orang belakang”, masih banyak
rekan aktivis lain yang bisa menceritakan pengalamannya dari sudut
pandangnya untuk lebih menjernihkan sejarah.}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar